SWASEMBADA PANGAN
PROGRAM STRATEGIS PENCAPAIAN SWASEMBADA
&
SWASEMBADA BERKELANJUTAN KEMENTERIAN PERTANIAN
I.
PENGERTIAN
Apa itu swasembada pangan dan
diversifikasi pangan ? Swasembada pangan berarti kita mampu untuk mengadakan
sendiri kebutuhan pangan masyarakat dengan melakukan realisasi dan konsistensi
kebijakan tersebut, antara lain dengan melakukan :
1. Pembuatan
UU dan PP yang berpihak pada petani dan lahan pertanian.
2. Pengadaan
infra struktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi dan jaringan
irigasi, pencetakan lahan taman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai,
dll, serta akses jalan ekonomi menuju lahan tersebut.
3. Penyuluhan
dan pengembangan terus menerus untuk meningkatkan produksi,baik pengembangan
bibit, obat-obatan, teknologi, maupun SDM petani.
4. Melakukan
diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan untuk bertumpu pada satu
makanan pokok saja (padi/nasi), pilihan diversifikasi di Indonesia yang paling
mungkin adalah sagu, gandum, dan jagung (terkhusus Indonesia Timur)
Jadi, diversifikasi adalah bagian
dari programswasembada pangan yang memiliki arti pengembangan pilihan/alternatif
lain makanan pokok selain padi/nasi (sebab di Indonesia makanan pokok adalah
padi/nasi). Salah satu caranya adalah dengan sosialisasi ragam menu selain non-
padi/nasi.
II.
SITUASI
UMUM PANGAN NASIONAL
a.
Produksi dan Produktivitas Pangan
i.
Produksi dan produktivitas padi
·
Luas panen, produktivitas, produksi tahun
1984-1992 (Pusdatin Kementan), tahun 1993-2012 (ATAP BPS), sedangkan 2013 (ARAM
I BPS).
·
Produksi beras merupakan konversi GKG ke beras
tahun 1984-1997 (65,3%), 1998-2008 (63,5%), dan 2009-2013 (62,74%).
ii.
Produksi dan produktivitas jagung
·
Data luas panen tahun 1984-1992 berdasarkan BPS
diolah Pusdatin Kementan, tahun 1993-2013 berdasarkan data BPS.
·
Data produksi tahun 1984-1992 berdasarkan BPS
diolah Pusdatin Kementan, tahun 1993-2013 berdasarkan data BPS.
·
Data tahun 2013 untuk luas panen dan produksi
berdasarkan ARAM I BPS
iii.
Produksi dan produktivitas kedelai
·
Data luas panen, produksi, dan produktivitas
tahun 1993-2012 ATAP BPS, tahun 2013 dari ARAM I BPS, sedangkan tahun 1984-1992
dari Pusdatin
iv.
Produksi dan produktivitas tebu serta produksi
gula
·
Data luas panen tebu dan produksi gula
berdasarkan P3GI dan perusahaan-perusahaan gula diolah Sekretariat Dewan Gula
Indonesia (SDGI).
·
Luas panen dan produksi tahun 2013 berdasarkan
data transaksi tahun 2013
v.
Produksi daging sapi
·
Pertumbuhan produksi daging sapi lokal periode
2005-2013 (5,53%), lebih tinggi dibandingkan periode 1998-2004 (4,39%), dan
1984-1997 (2,14%).
b.
Faktor Global
1.
Populasi global saat ini mencapai 7,2 M jiwa,
diperkirakan akan mencapai 8,1 M pada 2025, dan menjadi 9,6 M pada 2050.
Peningkatan tersebut didominasi masyarakat kawasan Asia Pasifik
2.
Peningkatan jumlah penduduk akan menguras SDA
lebih banyak seperti: pangan, energi, dan air.
3.
Kebutuhan pangan dunia terus meningkat, tetapi
di lain pihak ketersediaan lahan pertanian terus menyempit akibat alih fungsi
lahan untuk pembangunan sektor lain seperti: pemukiman, industri, dan
infrastuktur.
4.
Berkurangnya lahan pertanian produktif ditambah
dengan anomali iklim akibat pemanasan global telah menyebabkan berkurangnya
pasokan pangan dan harga pangan yang terus meningkat.
5.
Indonesia telah mengantisipasi kondisi tersebut
dengan merancang program surplus beras 10 juta ton, swasembada, dan swasembada
berkelanjutan pangan nasional, khususnya untuk 5 jenis komoditi pangan pokok,
yaitu: beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi.
6.
Kerjasama dan sinergitas diantara pemangku
kepentingan sangat diperlukan, dalam peningkatan produksi pangan yang bergizi
dan berkelanjutan, untuk memenuhi pangan secara nasional yang pada akhirnya
dapat berkontribusi terhadap pemenuhan pangan dunia.
III.
TUGAS
POKOK, TUJUAN, DAN SASARAN STRATEGIS
a.
Tugas Pokok
·
Mengembangkan produksi pangan yang bertumpu pada
sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal
·
Mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan
·
Mengembangkan sarana, prasarana dan teknologi
untuk produksi, penanganan pascapanen, pengolahan, dan penyimpanan pangan.
·
Membangun, merehabilitasi, dan mengembangkan
prasarana produksi pangan
·
Membangun kawasan sentra produksi pangan
·
Mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif
b.
Tujuan
Memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan
manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan,
kemandirian pangan dan ketahanan pangan.
c.
Sasaran Strategis
Terpenuhinya kebutuhan pangan pokok dengan harga yang
terjangkau melalui swasembada pangan, kelancaran distribusi, dan terjaganya
keseimbangan supply and demand, serta
meningkatnya kesejahteraan petani sehingga tercipta ketahanan pangan yang
berkelanjutan.
IV.
IMPLEMENTASI
a.
Tanggung Jawab dan Tugas
i.
Pemerintah
·
Menjaga kecukupan pasokan untuk masyarakat
·
Menjaga kesinambungan pembiayaan sektor pangan
melalui APBN
·
Membangun infrastuktur dasar seperti: bendungan,
waduk, irigasi, jalan produksi, dan sarana pelabuhan
·
Membangun konektivitas antar lembaga, intra
wilayah, antar wilayah, dan global
·
Menjaga stabilitas harga pangan pokok agar
terjangkau bagi masyarakat namun tetap layak secara komersial
·
Menetapkan peraturan per UU terkait dengan
insentif, pembiayaan, subsidi, dan perlindungan produsen dalam negeri.
ii.
Permerintah Daerah
·
Mengamankan lahan-lahan produktif agar tidak
mudah dialih fungsikan.
·
Menyediakan alokasi anggaran untuk sektor pangan
pada APBD
·
Mengembangkan kapasitas sumber daya manusia yang
terampil
·
Membangun pelayanan terpadu satu ppintu untuk
memudahkan investasi di sektor pangan
·
Menyediakan tenaga penyuluh dan pendamping
petani produsen pangan
·
Menetapkan peraturan daerah yang harmonis dengan
per UU
·
Membangun dan mengembangkan sentra-sentra
produksi dan terminal agri bisnis yang berbasis pangan
iii.
Dunia Usaha
·
Membangun usaha di bidang pangan yang efisiensi
dan berdaya saing
·
Membangun kemitraan yang saling menguntungkan
dalam berinvestasi di bidang pangan
·
Bersama pemerintah, pemerintah daerah, dan
perguruan tinggi mengembangkan inovasi teknologi dibidang pangan melalui
(R&D)
·
Mengembangkan pasar dan jaringan distribusi
efisien dengan membangun sistem logistik
b.
Peningkatan Produksi Pangan
·
Beras 2014
ü
Perkiraan kebutuhan beras pada tahun 2014
sebesar33,013 juta ton
ü
Sasaran produksi beras sebesar 43,046 juta ton
ü
Perkiraan produksi beras sebesar 41,040 juta ton
·
Kedelai 2014
ü
Perkiraan kebutuhan kedelai sebesar 1,988 juta
ton
ü
Sasaran produksi kedelai sebesar 2,7 juta ton
ü
Perkiraan produksi kedelai sebesar 1,5 juta ton
·
Jagung 2014
ü
Perkiraan kebutuhan jagung sebesar 14,26 juta
ton
ü
Sasaran produksi jagung sebesar 20,80 juta ton
ü
Perkiraan produksi jagung sebesar 19,00 juta ton
·
Gula 2014
ü
Perkiraan kebutuhan gula sebesar 2,7 juta ton
ü
Sasaran produksi gula sebesar 3,1 juta ton
ü
Perkiraan produksi gula sebesar 2,8 juta ton
·
Daging sapi 2014
ü
Perkiraan kebutuhan daging sapi sebesar 575,88
ribu ton
ü
Sasaran produksi daging sebesar 462 ribu ton
ü
Perkiraan produksi daging sebesar 443,22 ribu
ton
V.
STRATEGI
PENINGKATAN PRODUKSI TANAMAN PANGAN
Strategi untuk meningkatkan produksi tanaman pangan
adalah :
1.
Perluasan areal tanam
2.
Peningkatan produktivitas
3.
Pengamanan produksi
4.
Pemberdayaan kelembagaan pertanian dan dukungan
pembiayaan usaha tani
5.
Perbaikan manajemen
A. PROGRAM PEMERINTAH SAAT INI DALAM SWASEMBADA
PANGAN
Laju pertumbuhan penduduk yang positif membuat Indonesia harus terus menerus memacu produksi berasnya agar tetap swasembada beras. Sementara, fenomena banjir dan kekeringan yang semakin tidak terkendali dan tingginya laju konversi fungsi lahan sawah ke penggunaan yang lain di luar produksi beras akhir-akhir ini, mengisyaratkan bahwa resiko akan terjadinya kegagalan produksi beras di negeri ini telah semakin meningkat dari waktu ke waktu. Merosotnya kemampuan finansial pemerintah dalam melakukan rehabilitasi dan perluasan jaringan irigasi bahkan telah membuat kondisi resiko produksi semakin buruk.Sehingga, ke depan sangatlah mungkin terjadi pada suatu periode waktu tingkat produksi beras nasional jatuh pada level yang jauh di bawah target yang dibutuhkan untuk mencapai swasembada beras. Artinya, pada saat itu Indonesia akan kekurangan beras dalam jutaan ton. Bagi Indonesia, jelas kiranya bahwa jalan menuju ketahanan pangan nasional yang lestari bukanlah swasembada beras, tetapi swasembada pangan. Artinya, suka tidak suka, senang tidak senang penduduk negeri ini harus melakukan diversifikasi pangan apabila tidak mau berhadapan dengan ‘kiamat' pangan di masa depan. Sesungguhnya, pemerintah sudah lama menyadari pentingnya diversifikasi pangan, bahkan telah mempunyai berbagai program untuk mempromosikannya. Namun, suatu hal penting yang telah lama diabaikan oleh pemerintah adalah bahwa program swasembada beras tidak ‘compatible' dengan program diversifikasi pangan. Selama beras tersedia di mana saja, kapan saja dengan harga yang relatif murah seperti sekarang ini, masyarakat Indonesia tidak akan tertarik mengurangi konsumsi beras dan mengkompensasinya dengan penambahan konsumsi pangan lainnya, seperti jagung dan sagu.Hal inilah sesungguhnya yang membuat penduduk negeri ini doyan beras, bukanlah karena seleranya kaku. Sebab, faktanya, setiap harinya masyarakat Indonesia mengkonsumsi paket pangan yang merupakan campuran dari nasi dan bukan nasi. Artinya, ada ruangan untuk terjadinya substitusi beras dengan non-beras dalam paket konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Namun, ruangan subsitusi ini telah menjadi sangat sempit saat ini. Sebagai akibatnya, nasi (beras) telah menjadi sangat dominan dalam paket konsumsi harian penduduk negeri ini. Hal ini terjadi karena pemerintah telah sejak lama mengimplementasikan kebijakan pangan yang keliru.
Mestinya, pemerintah segera melakukan koreksi atas kebijakan pangan yang keliru ini. Kelihatannya, kita sulit mengharapkan koreksi seperti itu terjadi dalam waktu yang dekat. Swasembada beras telah menjadi arena untuk memuaskan berbagai kepentingan yang berbeda. Ada pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan politik, sementara berbagai pihak lainnya memanfaatkannya untuk mendapatkan rente ekonomi (economic rent). Bagi industri yang membayar buruhnya dengan upah murah, swasembada beras yang menjamin ketersediaan beras dengan harga murah jelas sangat penting. Sebab, buruh yang dibayar murah tidak mungkin produktif apabila kebutuhan pangannya tidak cukup. Agar buruh tetap produktif meskipun dibayar murah, maka harga pangan harus murah. Sementara, bagi negara-negara maju yang mempunyai surplus bahan pangan dalam kuantitas yang sangat besar adalah penting untuk mendukung Indonesia terus mengejar swasembada beras dengan memberikan bantuan teknis dan finansial. Soalnya, dengan mengutamakan produksi beras, Indonesia akan tertinggal dalam produksi pangan lainnya, meskipun sesungguhnya permintaan dalam negerinya meningkat, seperti halnya dengan permintaan beras nasional. Defisit produksi nasional yang terjadi akan menjadi pasar eksport yang empuk bagi surplus produksi pangannya. Sejatinya, hal inilah yang merupakan penjelasan mengapa Indonesia saat ini sangat tergantung pada pasar import pangan non-beras, seperti jagung dan kedele, sebagaimana diungkapkan oleh media massa nasional pada akhir tahun 2009 lalu.
Tidak ada jalan keluar dari jebakan swasembada beras ini, selain ketegasan politik pemerintah untuk memberhentikan program swasembada beras dan menggantinya dengan program swasembada pangan yang berbasis aneka bahan pangan.
Laju pertumbuhan penduduk yang positif membuat Indonesia harus terus menerus memacu produksi berasnya agar tetap swasembada beras. Sementara, fenomena banjir dan kekeringan yang semakin tidak terkendali dan tingginya laju konversi fungsi lahan sawah ke penggunaan yang lain di luar produksi beras akhir-akhir ini, mengisyaratkan bahwa resiko akan terjadinya kegagalan produksi beras di negeri ini telah semakin meningkat dari waktu ke waktu. Merosotnya kemampuan finansial pemerintah dalam melakukan rehabilitasi dan perluasan jaringan irigasi bahkan telah membuat kondisi resiko produksi semakin buruk.Sehingga, ke depan sangatlah mungkin terjadi pada suatu periode waktu tingkat produksi beras nasional jatuh pada level yang jauh di bawah target yang dibutuhkan untuk mencapai swasembada beras. Artinya, pada saat itu Indonesia akan kekurangan beras dalam jutaan ton. Bagi Indonesia, jelas kiranya bahwa jalan menuju ketahanan pangan nasional yang lestari bukanlah swasembada beras, tetapi swasembada pangan. Artinya, suka tidak suka, senang tidak senang penduduk negeri ini harus melakukan diversifikasi pangan apabila tidak mau berhadapan dengan ‘kiamat' pangan di masa depan. Sesungguhnya, pemerintah sudah lama menyadari pentingnya diversifikasi pangan, bahkan telah mempunyai berbagai program untuk mempromosikannya. Namun, suatu hal penting yang telah lama diabaikan oleh pemerintah adalah bahwa program swasembada beras tidak ‘compatible' dengan program diversifikasi pangan. Selama beras tersedia di mana saja, kapan saja dengan harga yang relatif murah seperti sekarang ini, masyarakat Indonesia tidak akan tertarik mengurangi konsumsi beras dan mengkompensasinya dengan penambahan konsumsi pangan lainnya, seperti jagung dan sagu.Hal inilah sesungguhnya yang membuat penduduk negeri ini doyan beras, bukanlah karena seleranya kaku. Sebab, faktanya, setiap harinya masyarakat Indonesia mengkonsumsi paket pangan yang merupakan campuran dari nasi dan bukan nasi. Artinya, ada ruangan untuk terjadinya substitusi beras dengan non-beras dalam paket konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Namun, ruangan subsitusi ini telah menjadi sangat sempit saat ini. Sebagai akibatnya, nasi (beras) telah menjadi sangat dominan dalam paket konsumsi harian penduduk negeri ini. Hal ini terjadi karena pemerintah telah sejak lama mengimplementasikan kebijakan pangan yang keliru.
Mestinya, pemerintah segera melakukan koreksi atas kebijakan pangan yang keliru ini. Kelihatannya, kita sulit mengharapkan koreksi seperti itu terjadi dalam waktu yang dekat. Swasembada beras telah menjadi arena untuk memuaskan berbagai kepentingan yang berbeda. Ada pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan politik, sementara berbagai pihak lainnya memanfaatkannya untuk mendapatkan rente ekonomi (economic rent). Bagi industri yang membayar buruhnya dengan upah murah, swasembada beras yang menjamin ketersediaan beras dengan harga murah jelas sangat penting. Sebab, buruh yang dibayar murah tidak mungkin produktif apabila kebutuhan pangannya tidak cukup. Agar buruh tetap produktif meskipun dibayar murah, maka harga pangan harus murah. Sementara, bagi negara-negara maju yang mempunyai surplus bahan pangan dalam kuantitas yang sangat besar adalah penting untuk mendukung Indonesia terus mengejar swasembada beras dengan memberikan bantuan teknis dan finansial. Soalnya, dengan mengutamakan produksi beras, Indonesia akan tertinggal dalam produksi pangan lainnya, meskipun sesungguhnya permintaan dalam negerinya meningkat, seperti halnya dengan permintaan beras nasional. Defisit produksi nasional yang terjadi akan menjadi pasar eksport yang empuk bagi surplus produksi pangannya. Sejatinya, hal inilah yang merupakan penjelasan mengapa Indonesia saat ini sangat tergantung pada pasar import pangan non-beras, seperti jagung dan kedele, sebagaimana diungkapkan oleh media massa nasional pada akhir tahun 2009 lalu.
Tidak ada jalan keluar dari jebakan swasembada beras ini, selain ketegasan politik pemerintah untuk memberhentikan program swasembada beras dan menggantinya dengan program swasembada pangan yang berbasis aneka bahan pangan.
B. HAMBATAN DALAM PROGRAM SWASEMBADA PANGAN
Program swasembada pangan masih bergantung pada luasan lahan yang tersedia.Dalam menuju swasembada pangan nasional seperti kedelai, jagung, padi, gula, semuanya masih bergantung pada luas lahan yang ada. Tanpa ada realisasi perluasan lahan, mustahil target swasembada pangan 2014 terwujud.Dalam memenuhi swasembada pangan, Indonesia masih membutuhkan lahan sekitar 3 juta Ha. Target produksi padi (GKG) pada 2014 adalah 75 juta ton dari 64 juta ton sekarang. Jagung dari 17 juta ton menjadi 29 juta ton, kedelai pada 2014 ditargetkan 2,7 juta ton. Begitu industri gula sekarang baru 2,3 juta ton ditargetkan naik menjadi 3,6 juta ton pada tahun 2014.Target semua di atas tentu memerlukan tambahan lahan yang cukup signifikan. Apakah semuanya bisa tercapai, jika moratorium dilaksanakan. Secara teknis pemberlakuan moratorium, sejatinya tidak menguntungkan dalam menuju swasembada pangan. Pelaksanaan ini juga berimbas padakomoditas lain, seperti sektor perkebunan (CPO) dan kehutanan (HTI). Memang komoditas pangan ini diprioritaskan untuk pemenuhan domestik, sedangkan kedua sektor di atas masih menjadi andalan ekspor nasional.
Dengan terbatasnya lahan yang tersedia, pemberlakuan moratorium dikhawatirkan akan mengganggu target swasembada pangan 2014. Moratorium tidak hanya menghambat masalah teknis, tetapi menambah potensi kerugian dan uncertain dalam berinvestasi. Bandingkan "hadiah" yang diberikan dengan nilai kerugiannya ekonomi akibat moratorium. Pemberian dalam bentuk grant atau hibah ini juga belum tentu disetujui Stortinget (parlemen) di negaranya.Adapun, masa moratorium selama 2 (dua) tahun, tidak menjamin hutan tidak dijarah atau rusak, tapi akan malah menderukan suara chainsaw semakin kencang. Jadi dalam hal ini, siapa yang untung dan buntung? Akhirnya pemerintah telah menandatangani LoI dan segera melaksanakan 1 Januari 2011. Ini pertanda apa. Industri kita akan kiamat (buntung) atau industri mereka akan selamat (untung). Notabene negara pemberi hadian ini adalah kompetitor besar Indonesia pada komoditas hasil kehutanan.
Program swasembada pangan masih bergantung pada luasan lahan yang tersedia.Dalam menuju swasembada pangan nasional seperti kedelai, jagung, padi, gula, semuanya masih bergantung pada luas lahan yang ada. Tanpa ada realisasi perluasan lahan, mustahil target swasembada pangan 2014 terwujud.Dalam memenuhi swasembada pangan, Indonesia masih membutuhkan lahan sekitar 3 juta Ha. Target produksi padi (GKG) pada 2014 adalah 75 juta ton dari 64 juta ton sekarang. Jagung dari 17 juta ton menjadi 29 juta ton, kedelai pada 2014 ditargetkan 2,7 juta ton. Begitu industri gula sekarang baru 2,3 juta ton ditargetkan naik menjadi 3,6 juta ton pada tahun 2014.Target semua di atas tentu memerlukan tambahan lahan yang cukup signifikan. Apakah semuanya bisa tercapai, jika moratorium dilaksanakan. Secara teknis pemberlakuan moratorium, sejatinya tidak menguntungkan dalam menuju swasembada pangan. Pelaksanaan ini juga berimbas padakomoditas lain, seperti sektor perkebunan (CPO) dan kehutanan (HTI). Memang komoditas pangan ini diprioritaskan untuk pemenuhan domestik, sedangkan kedua sektor di atas masih menjadi andalan ekspor nasional.
Dengan terbatasnya lahan yang tersedia, pemberlakuan moratorium dikhawatirkan akan mengganggu target swasembada pangan 2014. Moratorium tidak hanya menghambat masalah teknis, tetapi menambah potensi kerugian dan uncertain dalam berinvestasi. Bandingkan "hadiah" yang diberikan dengan nilai kerugiannya ekonomi akibat moratorium. Pemberian dalam bentuk grant atau hibah ini juga belum tentu disetujui Stortinget (parlemen) di negaranya.Adapun, masa moratorium selama 2 (dua) tahun, tidak menjamin hutan tidak dijarah atau rusak, tapi akan malah menderukan suara chainsaw semakin kencang. Jadi dalam hal ini, siapa yang untung dan buntung? Akhirnya pemerintah telah menandatangani LoI dan segera melaksanakan 1 Januari 2011. Ini pertanda apa. Industri kita akan kiamat (buntung) atau industri mereka akan selamat (untung). Notabene negara pemberi hadian ini adalah kompetitor besar Indonesia pada komoditas hasil kehutanan.
KESIMPULAN
Jadi swaembada pangan bagi Indonesia lum mencukupi atau Indonesia belum dapat memenuhi swasembada pangan untuk Indonesia sendiri.Karena swasembada pangan apabila Negara tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan pangan untuk seluruh masyarakatnya serta tidak tergantung terhadap impor pangan dari Negara lain.Pemerintah telah mengupayakan Indonesia untuk memeuhi kebutuhan pangan untuk seluruh penduduk Indonesia tetapi pada kenyataannya program yang telah dijalankan oleh pemerintah belum akurat dalam membantu program swasembada pangan.Hambatan yang terjadi dalam terciptanya swasembada pangan adalah kekurangan lahan untuk bercocok tanam karena penduduk Indonesia sangat banyak maka memerlukan di setiap daerah swasembada pangan yang cukup luas lahan.Solusinya adalah pemerintah harus menyisihkan di setiap provinsi maupun daerah-daerah untuk mempunyai lahan yang luas agar dapat menanam semua kebutuhan pangan disitu.Jangan setiap ada lahan kosong langsung menjadi proyek bisnis untuk menghasilkan keuntungan pihak tertentu atau pribadi.Sehingga lahan yang seharusnya digunakan dalam menjalakan program swasembada malah menjadi suatu bisnis yang menyebabkan kepadatan penduduk dengan didirikan rumah-rumah permanen,mol,hotel serta apartement. Menjadi salah satu hambatan dan Indonesia akan terus menerus kekurangan bahan pangan dan mengimpor dari Negara lain
Sumber :
https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080409213724AAuJk0Ffp.ub.ac.id/doc/materi/semnas_alumni/materi_kementan_ri_09112013.pdf
http://yuliana-ekaputri.blogspot.com/2011/04/swasembada-pangan.html
Komentar
Posting Komentar